Perintis Divisi Caving WAPALHI
Tahun 1993
Oleh: Dennilia W 92199 GB
Disclaimer: Tulisan ini berdasarkan ingatanku yang digali setelah hampir 30 tahun berlalu, jadi informasi terkait lokasi, disinkronkan dengan google. Jika ada salah nama, salah penyebutan lokasi, dsb, anggep aja itu dari pandangan si penulis. (ga gelem disalahke hehe)
Tim Ekspedisi:
Hombrenk Heru Susilo (Wana Paksi)
Komo Agung Supriyanto (Wana Paksi)
Icong Muchlison (Wana Paksi) – lali apakah dia ikut apa ngga
Emilda Kusumadewi (Wana Paksi)
Mentiyung Anandha Hindarto (Gharbadri)
Joni Hernawan (Gharbadri)
Menthel Teguh Dwi H (Gharbadri)
Dian Suryaningrum (Gharbadri)
Dennilia Nugraheni (Gharbadri)
Pioneer yang sebenarnya dilakukan oleh Mas Adjie Pendekar, Mentiyung dan Komo, beberapa bulan sebelumnya di tahun yang sama.
Prolog:
Aku berdiri takjub memandang bentangan stalgmite dan stalactite yang berdiri gagah dan megah di hadapanku. Menjulang dari bawah dan menggantung indah sekaligus menyeramkan, laksana taring binatang buas raksasa. Ada juga bentukan batuan karst yang bergerombol menyerupai cendawan bahkan ada yang terlihat seperti ubur-ubur lengkap dengan tentakelnya. Dalam senyap dan dingin mendekap, hanya cahaya redup senter kami yang membuatnya berkilau di pekatnya kegelapan. Berbisik lirik, mendaraskan asmaMu.. Allahu Akbar , MasyaAllah.. everything is as God’s will.
**
Kami memulai ekspedisi ini di saat liburan semester genap di tahun 1993. Kami, berlima dari anggota aktif WAPALHI, Joni, Icong, Menthel, mba Emil dan aku, berangkat dari kampus di pagi hari. Rencana awal, kami naik kereta dengan tujuan Tuban. Gua yang jadi target ekspedisi kami adalah Gua Nglirip (dibalik air terjun Nglirip) dan Gua Rengel.
Kami ijin untuk medirikan basecamp dan menginap di halaman rumah Kepala Desa Nglirip atau mana ya, lupa nama desanya. Dua tenda dome terpasang, dan sesaat kemudian menjelang malam, Mentiyung, mas Heru Hombrenk dan Dian bergabung dalam tim. Itu basecamp kami.
Day-1: Gua Lawa
Pagi hari, setelah sarapan, kami bersiap. Cek perlengkapan dan logistik. Wearpack, helm proyek, sepatu boot karet, lampu senter dan headlamp (belum punya banyak, belum usum waktu itu, hehe), harness, kaos tangan, tali karmantel, carabiner serta figur 8, kami angkut. Tak lupa logistik untuk day out kami hari itu.
Berjalan kaki membelah ladang jagung dan berakhir di hutan jati, selama 15-20 menitan dari desa, kami sampai di mulut gua. Gua ini masih alami, tak banyak orang yang tahu. Selain berada di kawasan hutan jati, mulut dan dinding gua pun tertutupi oleh semak belukar serta tumbuhan rambat yang hampir menyempurnakan persembunyian sang naga raksasa ini. Mulutnya menganga tidak terlalu lebar, namun cukup tinggi. Memasuki mulut gua, aroma khas menyergap begitu cepat, tak terelakkan segera saja memenuhi seluruh paru-paruku. Aroma telek lowo, haha. Jalan menuju perut gua, berupa tanah padat, licin penuh goano, teleknya para batman yang kala itu sedang bergelantungan santai menikmati tidurnya. Karena gua ini mempunya banyak lorong seperti labirin, kami memasang tali rafia pada titik-titik tertentu agar memudahkan saat menentukan arah pulang.
Setelah turun hingga di kedalaman kurang lebih 20 meter, kami berada di ceruk atau rongga yang sangat luas dengan langit-langit yang sangat tinggi, laksana ballroom yang megah, dengan beberapa bebatuan basal besar. Gelap gulita. Hitam pekat. Cahaya matahari tak mampu menembus hingga di kedalaman ini, karena tidak ada celah yang mengakses ke luar kecuali mulut gua. Dan imaginasiku makin meliar, aku berada di dalam perut naga raksasa yang sedang tidur dalam semedi panjangnya. Hehe. Kami beralih ke sisi dinding gua yang lebih basah, ada celah setinggi 40-50 cm, jadi kami merayap untuk melewati celah tersebut. Dan di situlah mataku terpuaskan oleh gambaran ornamen gua yang masih alami, dan terlihat maha dahsyat. MasyaAllah..
Stalagmite tumbuh menjulang dari lantai dasar gua, sedangkan stalactite tumbuh menjuntai menggantung dari langit-langitnya. Berlapis-lapis, mereka menandai kesabaran dalam tiap tetes rahmat Tuhan yang dikucurkan, hingga tumbuh menjulang, runcing ke atas dan ke bawah. Mereka berkilau penuh pesona saat terkena sorot cahaya senter. Setelah cukup mengagumi ornamen gua, kami kembali merayap menuju ballroom.
Di sisi lain di dalam ballroom ini ada 3 lubang kecil memanjang, seperti pipa seukuran tubuh orang dewasa. Mungkin digali oleh orang-orang untuk mencari sesuatu. Entahlah. Kami mencoba menyusuri lorong, satu-persatu, merayap tentu saja. Jalur seperti pipa itu menurun dan agak licin. Serasa meluncur di perosotan. Hingga di ujung lorong kami menemukan aliran sungai bawah tanah. Jalur air hanya selebar 20 cm, semacam parit, dengan kedalaman air setengah betis, airnya berarus deras, mungkin karena pengaruh kontur tanah yang agak miring juga. Ruangan terasa lebih lega dengan ketinggian langit-langit sekitar 2.5-3 meter. Kedalaman saat itu mungkin sekitar 40 meter di bawah permukaan tanah. Telinga mulai terasa kedap dan berdenging. Kepala terasa lebih berat, dada engap, nafas ngos-ngosan. Tanda-tanda hypoxemia melanda. Hind mencoba menyusuri parit tersebut, namun mentok dinding, dan air nemembus celah yang lebih kecil. Akhirnya kami memutuskan untuk naik karena kadar oksigen semakin tipis. Aku tersengal-sengal kepayahan, saat merayapi lorong yang sedikit menanjak. Hingga akhirnya kami tiba kembali di ballroom. Hawa dingin, sejuk berhembus menyambut kami. Sesaat kami rehat sembari membuka bekal kami. Antara capek dan kadar oksigen yang minim, membuat kepala dan mataku berat, mengantuk tiada tara. Hingga aku merasakan tubuhku diguncang keras oleh Dian. Tidur atau pingsan, itu masih misteri.. hehe.
Kami bergegas naik, mengikuti jejak tali rafia dan ketika sampai di mulut gua, ternyata senja merembang petang.
Menyusuri dunia bawah tanah, membuat kami disorientasi waktu. Kami berjalan menuju basecamp, aku terdiam sepanjang jalan larut dengan perasaanku sendiri.
Day-2: Gua Nglirip
Pagi menjelang dan kami kembali menyusuri gua yang sama, mengeksplorasi bagian lain yang penuh dengan stalagmite dan stalactite, serta mencoba memasuki lorong-lorong bebatuan karst. Aku masih ingat mencoba memasuki lorong yang sangat sempit, seperti dua dinding menjulang yang berhimpitan, menyisakan celah memanjang. Aku harus memiringkan badan, berjalan miring, bahkan untuk lebih leluasa, waist bag yang setia memeluk pinggangku pun harus kulepaskan. Berjalan miring pelan, merangsek ke dalam tapi hanya bisa bertahan hingga kedalaman 20 meteran. Lorong makin menciut sempit dan oksigen makin tipis. Kami mundur teratur dan akhirnya memutuskan untuk pulang lebih cepat.
Matahari masih garang saat kami keluar dari dalam gua. Kemudian kami berjalan menuju gua Nglirip. Sebuah gua yang bersembunyi di balik air terjun. Sayang saat itu musim kemarau, debit air sangat berkurang, sehingga air terjun pun tidak seindah air terjun pada umumya. Karena akses menuju gua tidak mudah, bahkan sulit karena gua berada di atas ketinggian kurang lebih 15 meteran. Kami hanya menikmati pemandangan air terjun dan ceruk kolam berwarna hijau tosca. Sembari menuliskan kisah ini, aku sesekali cek google dan ternyata air kolam di bawah air terjun Nglirip warnanya masih sama. Tosca dan terkadang hijau tergantung cuaca mungkin.
Berjalan menuju basecamp, gemericik air sungai, mempesonakanku, mengajakku dan teman-teman untuk sekedar melepas lelah, bermain air, membuat jejak kenangan tentang indahnya hari itu. Meskipun aku yakin, jejak itu makin memudar tenggelam dengan ribuan jejak yang kami buat setelahnya.
Day-3: Gua Rengel
Pagi hari kami bongkar tenda dan berkemas. Hari ke-3 ekspedisi ini, berlanjut ke Gua Rengel yang berada di kecamatan Rengel. Penduduk setempat menyebutnya Gua Ngerong. Jarak dari desa Nglirip sekitar 40 km. Terus terang, aku lupa, dengan apa dan bagaimana kami bisa sampai di Rengel. Maafkaaann...
Siang hari, sekitar pukul 1 siang, kami tiba di kawasan wisata Gua Rengel. Ya, bahkan pada tahun itu, Gua Rengel sudah jadi primadona wisata di kabupaten Tuban. Gua Rengel berada di aliran sungai, yang mengalir hingga ke luar area. Sisi kanan-kiri sungai sudah berupa beton rapi. Sepintar mirip saluran irigasi selebar 3-5 meter. Warga sekitar memanfaatkan sungai tersebut sebagai fasilitas umum untuk mandi dan cuci. Yang unik dari sungai ini adalah, begitu banyak ikan berbagai jenis, mungkin ratusan ikan, berenang di sepanjang aliran sungai dan tidak takut dengan aktifitas manusia. Warga pun sudah terbiasa dengan kehadiran ikan-ikan yang berenang di antara mereka yang beaktifias. Wisatawan biasanya mendapat hiburan dengan membeli sekantung biji randu/kapas sebagai pakanan ikan. Saat dilemparkan ke sungai, maka ikan-ikan tersebut serentak akan berkumpul ke arah biji randu, menciptakan kecipak air yang bikin merinding, hiiiy.
Konon ikan-ikan tersebut adalah jelmaan para prajurit kerajaan, dan hal tersebut diyakini dan ditaati sehingga ada larangan keras bagi para warga dan wisatawan agar tidak mengusik, mengambil atau bahkan mengonsumsi ikan-ikan tersebut. (Silakan googling untuk info mengenai sejarah atau legenda Gua Ngerong).
Mulut gua Ngerong berada di aliran sungai, dengan lebar sekitar 5 meteran dengan tinggi langit-langitnya sekitar 2 meter. Kedalaman air di dalam gua berkisar antara 1,5 hingga 4 meteran. Gua Ngerong ini, menurut warga setempat, mempunyai panjang sekitar 2 km (yang bisa dijelajahi) dan ada air terjun di ujungnya. Konon, ada potensi panjang gua bisa tembus ke Gua Akbar di dekat pusat kota Tuban, sejauh 30 km.
Karena berada dalam aliran sungai, maka untuk menyusuri gua ini hanya bisa dengan menggunakan perahu karet atau ban pelampung. Kami menyewa beberapa pelampung, dan ada salah satu warga yang sangat ingin ikut masuk menyusuri gua, karena penasaran. Namun, karena faktor keamanan, kami tidak mengijinkan beliau bergabung. Akhirnya kami dipinjami ban pelampung yang sangat besar. Berlima, Mas Heru, Komo, Mentiyung, Menthel dan aku, terjun ke air. Dingin, sejuk dan segar air segera memeluk tubuhku. Airnya lumayan jernih dengan dasar bebatuan karst. Sesaat kami nyemplung di sungai, puluhan bahkan ratusan ikan berebut mengelilingi kami. Geliiiii....
Perlahan, kami menyusuri gua dengan 3 atau 4 pelampung (lali, maning), masing-masing terikat oleh tali karmantel agar tidak terpisah jauh mengingat air berarus. Ketinggian langit-langit gua saat berada di dalam hanya sekitar 1,5 meter dari permukaan air. Jadi aku rada was-was, jika hal terburuk, misalnya terjadi banjir, maka kemungkinan besar air akan memenuhi rongga gua. Kami menyisir hingga sepanjang 500 meter, saat salah satu pelampung bocor, mungkin karena bergesekan dengan dinding gua yang tajam. Kami memutuskan untuk putar balik untuk keselamatan.
Kami kembali, mandi, makan dan berkemas pulang menuju ke Cepu. Dengan menumpang truk dengan bak terbuka, kami dipeluk malam dalam buaian laju roda di atas aspal. Bintang berkelip di langit malam, membisikkan selamat tidur untuk kami. Hingga akhirnya kami sampai di Cepu, untuk menginap semalam di kediaman Mentiyung dan esok hari kembali ke kampus.
Ekspedisi 5 hari pergi pulang yang sarat kenangan indah, meskipun tanpa banyak foto-foto selfi, namun moment-moment itu masih lekat diingatanku. Alhamdulillah.
**
Epilog
“The cave you fear to enter may hold the treasure you seek”
Joseph Campbell
Dennie’s:
Dunia bawah tanah,
penuh misteri dan keindahan tiada batas
yang disembunyikan oleh Tuhan agar tetap terjaga
sebagaimana mestinya
4 Comments
Wapalhi jos
ReplyDeleteIstimewa
ReplyDeletekeren kegiatannya wapalhi
ReplyDeleteklo ada laporan kegiatan lagi..boleh dishare sbg acuan komunitas lagi
ReplyDelete